Empat Pulau Dipindahkan ke Sumut, Warga Aceh Protes: Perdamaian Aceh Terancam?

Gubernur Sumut Bobby Nasution bertemu dengan Gubernur Aceh Muzakir Manaf membahas empat pulau yang diipindahkan ke Sumut (f:ist/mistar)
Aceh, MISTAR.ID
Keputusan Kementerian Dalam Negeri yang menetapkan Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara menuai gelombang protes dari masyarakat Aceh. Mereka menilai langkah ini bertentangan dengan semangat Perjanjian Helsinki yang mengakhiri konflik berdarah antara Aceh dan pemerintah Indonesia.
Wakil Ketua Partai Aceh, Suadi Sulaiman, menyebut kebijakan ini bisa merusak keutuhan perdamaian Aceh. "Pemerintah pusat seharusnya tidak mengambil langkah yang justru memercik ketegangan baru. Ini bisa mengadu domba Aceh dengan Sumatra Utara," katanya.
Sengketa ini bermula dari Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menetapkan keempat pulau masuk wilayah Sumatra Utara. Padahal, menurut masyarakat Aceh, pulau-pulau tersebut masuk dalam batas wilayah Aceh berdasarkan peta 1 Juli 1956 yang disebut dalam Perjanjian Helsinki.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengklaim bahwa pemerintah pusat telah berulang kali memfasilitasi mediasi antara Aceh dan Sumatra Utara. Namun, persoalan batas wilayah ini dinilai belum tuntas.
Gubernur Sumut Bobby Nasution pun sempat mengunjungi Banda Aceh untuk meredam ketegangan, tetapi hanya disambut singkat oleh Gubernur Aceh karena jadwal padat. Upaya dialog belum menemukan titik temu.
Tokoh masyarakat seperti Yardi, nelayan asal Aceh Singkil, menyebut dirinya pernah membantu membangun tapal batas di Pulau Panjang dan Mangkir Besar satu dekade lalu. Ia meyakini keempat pulau tersebut milik Aceh.
Pengamat menyebut kegaduhan ini muncul akibat belum adanya penyelesaian menyeluruh terhadap batas wilayah antarprovinsi di Indonesia, termasuk dalam pelaksanaan hasil kesepakatan Helsinki.
Masyarakat Aceh berharap pemerintah pusat tidak gegabah mengambil keputusan yang bisa mengganggu stabilitas damai yang telah dibangun bertahun-tahun.
Sengketa batas wilayah ini bukan sekadar soal geografi, tetapi menyangkut sejarah, identitas, dan perdamaian yang rentan tergores.(hm17)